Stoikiometri
Dalam ilmu kimia, stoikiometri (kadang
disebut stoikiometri reaksi untuk membedakannya dari stoikiometri
komposisi) adalah ilmu yang mempelajari dan menghitung hubungan
kuantitatif dari reaktan dan produk dalam reaksi kimia (persamaan kimia). Kata ini berasal dari bahasa Yunani stoikheion (elemen) dan metriā (ukuran).
Stoikiometri gas
adalah suatu bentuk khusus, dimana reaktan dan produknya seluruhnya berupa gas.
Dalam kasus ini, koefisien zat (yang menyatakan perbandingan mol dalam
stoikiometri reaksi) juga sekaligus menyatakan perbandingan volume antara
zat-zat yang terlibat. a. Tahap awal stoikiometri
Di awal kimia,
aspek kuantitatif perubahan kimia, yakni stoikiometri reaksi kimia, tidak
mendapat banyak perhatian. Bahkan saat perhatian telah diberikan, teknik dan
alat percobaan tidak menghasilkan hasil yang benar.
Salah satu contoh
melibatkan teori flogiston. Flogistonis mencoba menjelaskan fenomena pembakaran
dengan istilah “zat dapat terbakar”. Menurut para flogitonis, pembakaran adalah
pelepasan zat dapat etrbakar (dari zat yang terbakar). Zat ini yang kemudian
disebut ”flogiston”. Berdasarkan teori ini, mereka mendefinisikan pembakaran
sebagai pelepasan flogiston dari zat terbakar. Perubahan massa kayu bila
terbakar cocok dengan baik dengan teori ini. Namun, perubahan massa logam
ketika dikalsinasi tidak cocok dengan teori ini. Walaupun demikian flogistonis
menerima bahwa kedua proses tersebut pada dasarnya identik. Peningkatan massa
logam terkalsinasi adalah merupakan fakta. Flogistonis berusaha menjelaskan
anomali ini dengan menyatakan bahwa flogiston bermassa negatif.
Filsuf dari
Flanders Jan Baptista van Helmont (1579-1644) melakukan percobaan “willow” yang
terkenal. Ia menumbuhkan bibit willow setelah mengukur massa pot bunga dan
tanahnya. Karena tidak ada perubahan massa pot bunga dan tanah saat benihnya
tumbuh, ia menganggap bahwa massa yang didapatkan hanya karena air yang masuk
ke bijih. Ia menyimpulkan bahwa “akar semua materi adalah air”. Berdasarkan
pandangan saat ini, hipotesis dan percobaannya jauh dari sempurna, tetapi
teorinya adalah contoh yang baik dari sikap aspek kimia kuantitatif yang sedang
tumbuh. Helmont mengenali pentingnya stoikiometri, dan jelas mendahului
zamannya.
Di akhir abad 18,
kimiawan Jerman Jeremias Benjamin Richter (1762-1807) menemukan konsep
ekuivalen (dalam istilah kimia modern ekuivalen kimia) dengan pengamatan teliti
reaksi asam/basa, yakni hubungan kuantitatif antara asam dan basa dalam reaksi
netralisasi. Ekuivalen Richter, atau yang sekarang disebut ekuivalen kimia,
mengindikasikan sejumlah tertentu materi dalam reaksi. Satu ekuivalen dalam
netralisasi berkaitan dengan hubungan antara sejumlah asam dan sejumlah basa
untuk mentralkannya. Pengetahuan yang tepat tentang ekuivalen sangat penting
untuk menghasilkan sabun dan serbuk mesiu yang baik. Jadi, pengetahuan seperti
ini sangat penting secara praktis.
Pada saat yang sama
Lavoisier menetapkan hukum kekekalan massa, dan memberikan dasar konsep
ekuivalen dengan percobaannya yang akurat dan kreatif. Jadi, stoikiometri yang
menangani aspek kuantitatif reaksi kimia menjadi metodologi dasar kimia. Semua
hukum fundamental kimia, dari hukum kekekalan massa, hukum perbandingan tetap
sampai hukum reaksi gas semua didasarkan stoikiometri. Hukum-hukum fundamental
ini merupakan dasar teori atom, dan secara konsisten dijelaskan dengan teori
atom. Namun, menarik untuk dicatat bahwa, konsep ekuivalen digunakan sebelum
teori atom dikenalkan.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar